Darurat Demokrasi, Ketua GMNI Malang: Kampus Harus Bersikap!
Kota Malang, cyber-nasional.com – Civitas menara gading harus berani bersikap tegas dalam kondisi krisis demokrasi dan penyelewengan para penyelenggara negara, bukan saatnya bermain aman. Sabtu, (3/1/2024)
Beberapa waktu terakhir, kampus sebagai salah satu kawah candradimuka di mana peradaban bangsa dibentuk, secara terbuka mengutarakan sikap dan posisinya menanggapi dinamika perpolitikan nasional (utamanya menyambut pesta demokrasi 2024).
Hal ini sebenarnya bukan satu kejutan, karena sangat wajar jika kampus sebagai simbol kebebasan akademik menanggapi isu yang sedang berkembang.
Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi oase di tengah gersangnya harapan akan suara-suara yang berani berbicara bahwa memang tengah terjadi penyelewengan dan degradasi nilai, etika dan moral dalam tubuh penyelenggara negara.
Sebelumnya, sentimen kekecewaan terhadap penyelenggara negara kembali naik pasca Presiden Joko Widodo mengutarakan kepada media bahwa presiden boleh berkampanye.
Menanggapi hal tersebut, sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan Petisi Bulaksumur sebagai bentuk keprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024.
Petisi ini dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Fakultas Psikologi, Prof. Drs. Koentjoro, Ph.D., didampingi oleh sejumlah puluhan Guru Besar, akademisi, alumni dan aktivis BEM KM UGM, Rabu (31/1/2024) di Balairung Gedung Pusat UGM yang isinya memuat keprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024
Sehari berikutnya, Kamis, (1/2/2024), giliran Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga mengutarakan petisi berisi ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’ yang dibacakan oleh Rektor UII, Fathul Wahid,
Dalam petisi tersebut, Presiden Jokowi diminta tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2024.
Indikator utama “pemanfaatan” itu adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023
Belum lagi soal proses pengambilan keputusan tersebut yang sarat dengan intervensi politik dan dinyatakan terbukti melanggar etika, hingga menyebabkan Ketua MK, Anwar Usman diberhentikan.
Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Jokowi menyebut presiden boleh berkampanye dan berpihak, sehingga menyatakan ketidaknetralan institusi.
Setali tiga uang, berikutnya disusul oleh Universitas Indonesia yang juga menggelar Deklarasi Kebangsaan yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo itu berisi tentang kritik mengenai situasi demokrasi Indonesia saat ini.
Sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) menyampaikan deklarasi kebangsaan di Rotunda, UI, Depok, Jumat (2/2/2024).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Malang (DPC GMNI Malang), Donny Maulana mengatakan bahwa hal tersebut memang seyogyanya disikapi oleh kampus sebagai institusi pendidikan yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebebasan berpendapat.
“Pertama saya mengapresiasi beberapa kampus seperti UGM, UII dan UI yang sudah bersikap terkait praktik abuse of power yang dilakukan oleh aparatur negara. Saya rasa dalam beberapa saat akan ada kampus lain yang bakal mengikuti, dan saya memang berharap demikian,” ujar Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.
Donny, sapaan akrabnya juga menyikapi terkait bagaimana harusnya penyelenggara negara dalam menyambut Pemilihan Umum 2024 ini
“Calon presiden, calon wakil presiden, para menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses, serta tim kampanye salah satu pasangan calon, harus mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara, dan justru melanggar etika netralitas jabatan. Lebih lanjut, asas pemilu harus dijalankan oleh seluruh penyelenggara negara termasuk di kalangan TNI dan POLRI serta ASN untuk tidak berpihak pada paslon manapun, namun berpihak pada kepentingan bangsa dan negara,” tambahnya.
Ia berharap bahwa apa yang telah disuarakan oleh beberapa kampus ini akan menginspirasi dan memantik kesadaran yang lebih luas kepada kampus lain.
“Tanpa terkecuali. Beberapa kampus telah menunjukkan posisinya sebagai corong intelektual, simbol keberanian dan posisi keberpihakannya kepada rakyat. Sudah seyogyanya semua kampus seperti itu. Karena dalam kondisi krisis (etika demokrasi ) seperti saat ini, jika para akademisi hanya duduk nyaman dalam puncak menara gading dan enggan untuk turut menyelesaikan persoalan di masyarakat, maka lebih baik ruang pendidikan tidak diberikan sama sekali,” lanjutnya.
Lebih lanjut ia berharap bahwa Pemilu 2024 dapat berjalan damai.
“Namanya pesta demokrasi, masyarakat harus senang. Jangan sampai ada intimidasi atau intervensi dari pihak manapun utamanya alat negara,” tambahnya.
Terakhir ia juga berharap kepada para mahasiswa sebagai bagian dari simpul sivitas akademika untuk menjadi agen pencerdasan masyarakat terkait pemilu.
“Mahasiswa sebagai bagian penting simpul akademisi juga harus paham peran, bahwa di tengah arus polarisasi, framming dan gimmick non substansial, mahasiswa harus mampu menjadi agent yang mampu dan mau memberikan pencerdasan kepada masyarakat umum tentang track record dan rekam jejak calon pemimpin yang akan dipilih dalam pemilu,” tandasnya.
Publiser : Redaksi.
pewarta : Sofie Delisia