Pesona Nahdlatul Ulama Dalam Pilpres 2024
Malang, cyber-nasional.com – Pemilihan presiden 2024 akan menjadi ajang pertarungan antara berbagai kekuatan politik di Indonesia. Salah satu kekuatan yang paling berpengaruh ialah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki jutaan anggota dan simpatisan. NU dikenal sebagai organisasi yang moderat dan toleran, serta memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan persatuan bangsa.
Hal ini menjadi fenomena yang selalu menarik di tengah hiruk-pikuk menjelang kontestasi kepemimpinan nasional yakni daya tarik Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan Islam dengan jumlah jamaah terbesar di Indonesia bahkan dunia. NU meskipun bukan sebagai parpol, namun selalu memikat dan menjadi rebutan para aktor politik.
Hal itu di sampaikan oleh Prof. Kacung Marijan P.hD pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya saat menjadi narasumber dalam acara launching dan discussion dalam tema Pesona NU Dalam Pilpres 2024 yang digelar oleh Lembaga Gawa Lelaku bertempat di STIE PEMNAS Malang, Jumat (29/09).
“Selain itu, kesejarahan jam’iah dan jama’ah NU yang terkait dengan politik, menjadikan realitas semacam itu menjadi sesuatu yang lebih bermakna. NU berlama-lama menjadi partai politik, partai NU mulai tahun 1952 sampai dipaksa berfungsi dengan partai Islam lain kedalam PPP” Kata Kacung.
Menurut Kacung bahwa ketika para alim ulama memutuskan kembali ke khittah pada tahun 1962 pada 1983 dan dikukuhkan pada muktamar NU 1984, NU tidak berpolitik secara langsung. Tetapi tidak sedikit para elite NU yang masih bersentuhan dengan politik, tetap di PPP dan bergabung ke Golkar.
“Gairah politik NU menggelora kembali pasca keruntuhan orde baru. NU memfasilitasi keinginan jam’iah mendirikan partai politik, seperti halnya PKB, PPP dan PKU” jelas Kacung.
Secara statistik, menurut survey LSI Denny JA, jumlah warga NU mengalami kenaikan. Pada 2005 penduduk yang menganggap dirinya sebagai waga NU sebesar 27,5%. Pada 2014, jumlahnya naik menjadi 41,7% dan pada 2023 menjadi
56,9%.
“Ketika secara electoral, demokrasi dipahami sabagai One Person One Vote One Value (OPOVOV) konunitas NU lalu menjadi sesuatu yang menarik, karena jumlahnya besar” tuas Kacung.
Sementara menurut Dr. Amin Tohari MA, Direktur Sekolah Riset Satukata Yogyakarta, yang juga sebagai salah satu narasumber dalam acara tersebut menyampaikan dalam pandangannya bahwa NU tetap berjalan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, serta menjauh dari politik praktis.
“Sejak reformasi, ketika keran kebebasan dibuka, dan politik bertransisi dari menghamba pada rezim otoriter orde baru, beralih ke daulat rakyat sebagai pemberi kekuasan, keran kebebasan itu mengalir juga ke kantong-kantong pemilih Nahdliyin” terangnya.
Menurutnya suara dari kalangan Nahdliyin menjadi kunci yang menentukan pemenang di pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden dijadwalkan dimulai pada 19 Oktober sampai dengan 25 November 2023 mendatang.
Selain itu menurut Amin jika suara Nahdliyin memang wajar untuk diperebutkan oleh setiap kontestan di Pilpres 2024. Sebabnya, didasari banyaknya tokoh yang memiliki basis massa besar.
“Tokoh-tokoh yang punya patron, warga Nahdliyin dan Nahdlatul Ulama (NU) itu banyak sekali, wajar kalau kemudian suara Nahdliyin diperebutkan,” ucapnya.
Kendati demikian, Amin memprediksi para bakal calon presiden kesulitan apabila berambisi mendapatkan suara Nahdliyin secara utuh. “Suara Nahdliyin itu tersebar di banyak kalangan, termasuk partai,” ujarnya.
Publisher : Redaksi
Pewarta : Sofie Delisia