Strategi “Slapstick” Efektif Himpun Pemilih dengan Kecerdasan Politik Rendah di Pemilu 2024 ?
Oleh: Doni Maulana.
Berbagai strategi kampanye telah dan sedang dilancarkan oleh setiap kontestan (konteks tulisan ini adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden) dalam menyukseskan hajatnya agar terpilih pada pesta demokrasi yang akan dihelat serentak seluruh Indonesia tersebut.
Salah satu yang coba “digocek” adalah tentang permainan framming dan gimmick untuk membangun persepsi publik akan sosok kandidat.
Bahkan permainan gimmick itu hingga melewati batas kewajaran, sampai-sampai menutup substansi yang asli dari kandidat.
Tujuan praktisnya jelas, untuk menutup celah kekurangan, mengubur track record yang buruk (bahkan mungkin catatan kelam di masa lalu) agar simpati hingga suara pemilih bisa mengarah padanya.
Memang potensi pemilih pemuda menjadi “komoditas” yang menarik untuk digarap oleh para kandidat dengan skema dan strategi tersebut.
Karena secara psikologis, para generasi muda ini cenderung lebih bisa menerima hal-hal yang sifatnya ringan, jenaka dan menyenangkan.
Sialnya, generasi muda ini di sisi lain secara historis tidak banyak yang dipahami akan kandidat yang ada, tentang track recordnya, kapasitas kepemimpinannya hingga catatan baik buruknya (jika ia tidak benar-benar mencari tahu).
Dalam posisi inilah kemudian terjadi penilaian yang tidak “apple to apple”, sebuah penilaian dan pengambilan keputusan yang singkat tapi tidak berlandaskan logika dasar: yaitu memilih kontestan sebagai calon pemimpin tidak dengan indikator kepemimpinan, substansi dan track record, akan tetapi justru memilih siapa yang “jogetnya” lebih asyik atau lebih lucu/gemoy.
Kembali ke soal generasi muda, hal ini bukan tanpa alasan, karena berdasarkan data DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari pemerintah, proporsi pemilih 2024 yang 14 Pebruari nanti mencapai usia 17-39 tahun diangka 55 – 60 persen.
Angka tersebut tentu bukan hanya sekadar “komoditas” suara, tapi merupakan basis “collective” hanya jika para pemuda bisa memaksimalkannya menjadi kekuatan revolusioner yang akan berdampak pada arah bangsa Indonesia mendatang.
Sayangnya banyak dari generasi muda yang justru termakan gimmick dan framming tidak penting dari strategi “slapstick” yang digunakan kandidat hari ini.
Lantas apa itu strategi slapstick?
*Fenomena Joget Gemoy: Contoh strategi “Slapstick” sebagai Gimmick dan Framming untuk membentuk persepsi publik, meraih simpati dan menghimpun suara”
Massivenya penggunaan sosial media begitu signifikan dalam membentuk persepsi publik.
Data dari We Are Social menyebut pada Januari 2023 pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 212,9 juta dengan jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri.
Inilah yang kemudian coba dieksploitasi oleh tim buzzer kampanye kandidat dalam memengaruhi dan membentuk persepsi baru publik akan sosok kandidat.
Ekosistem digital yang kebanyakan juga diisi oleh generasi muda tersebut kemudian diisi dengan konten-konten yang “mostly” tidak substansial, yang isinya sekali lagi banyak unsur slapstick, gimmick dan framming tidak penting.
Bahkan tujuannya lebih ngeri lagi, yaitu untuk menarik simpati dan menghimpun suara dari pemilih yang “notabene” tidak memahami substansi dan acuh terhadap track record kontestan.
Sekilas tentang slapstick: itu adalah salah satu genre komedi/ gaya humor yang melibatkan aktivitas fisik berlebihan yang melampaui batas komedi fisik normal. Gaya humor slapstick biasanya lebih mengandalkan kelucuan “gerak adegan” ketimbang “dialog atau monolog” yang dibangun pemainnya.
Strategi slapstick dalam konteks ini dirupakan dengan sesuatu yang bersifat “ringan, enteng, riang jenaka dan JELAS, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kualitas kepemimpinan”
Sebagai penetrasi, ruang digital digunakan untuk memasifkan strategi kampanye tersebut melalui konten-konten yang sekali lagi “nir-substansi” kepemimpinan.
Salah satu contoh, dengan maraknya trend/ fenomena “Joget Gemoy” (misalnya) di sosial media yang kemudian menjangkiti kalangan generasi muda, adalah salah satu bentuk slapstick nyata dalam gelaran Pemilu 2024.
Gimmick dan framming yang coba dibangun tentu adalah sesuatu yang riang jenaka, ringan, enteng, gemoy, yang sebenarnya “tidak ada hubungannya sama sekali dengan kualitas kepemimpinan kandidat”.
Tentu, itu sangat kreatif dan menarik sebagai sebuah trend, tapi untuk menjadi dasar dalam memilih seorang pemimpin, tentu itu sangat-sangat tidak logis.
Lantas bagaimana dengan banyaknya argumentasi yang “sebagian besar” dari generasi muda, menyatakan akan memilih kandidat yang sedemikian (hanya karena riang jenaka, lucu, gemoy)
Apakah ini juga sebagai indikator bahwa generasi muda hari ini masih memiliki kecerdasan memilih yang “rendah” sehingga dengan mudah hanya dijadikan sebagai “komoditas politik” yang termakan oleh strategi slapstick dan permainan gimmick serta framming “tidak penting” ini dengan mengabaikan hal-hal yang lain yang lebih substansial (misalnya track record/catatan objektif kandidat)?
Tentu, sebagai bagian dari generasi muda, saya tidak mau dicap sebagai pemilih dengan kecerdasan memilih yang rendah yang kemudian hanya dianggap sebagai penggembira dan komoditas politik semata. Jumlah kita terlalu besar (60% dari jumlah pemilih)!
Karena itulah, tidak hanya larut dalam gimmick yang tidak penting dan mulai memahami track record serta substansi kandidat menjadi kunci.
Analisis Historis Materialis sebagai pisau analisa di tengah fenomena slapstick dan gimmick Pesta Demokrasi 2024
Di tengah kondisi yang demikian, tentunya kesadaran untuk menjadi pemilih yang cerdas dan bijak menjadi penting.
Utamanya adalah para garda muda bangsa yang menjadi angka terbesar pemilih hari ini.
Turut meramaikan kreativitas dalam trend kampanye sah-sah saja, akan tetapi penting untuk tetap objektif dan substantif dalam menilai kandidat.
Setidaknya, hal yang paling sederhana yang bisa dilakukan adalah melihat rekam jejak dan track record kepemimpinan kandidat.
Berbagai data dan fakta substantif dari kandidat sepertinya hari ini dengan mudah bisa dicari di media sosial hingga media mainstream
Forum dialog, adu gagasan, dan debat kandidat yang juga menjamur termasuk dalam debat yang difasilitasi oleh negara agaknya juga bisa menjadi dasar berikutnya dalam menilai kandidat.
Analisis historis materialis seperti ini menjadi penting, karena jika kita hanya termakan frame yang dibangun hari ini saja dan tidak coba mencari data yang lebih mendalam, bisa-bisa saja kita akan menyesal dikemudian hari karena data baru yang kita temukan terlebih memilih kandidat yang salah.
Terakhir, saya kembali mengingatkan dalam tulisan ini: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan catatan masa lalu/sejarah, pun dalam jalannya sejarah itu juga sudah terbukti bahwa bangsa-bangsa adidaya di dunia juga menggunakan analisis historis dalam menguasai dan menghegemoni suatu bangsa yang lain. Jadi tidak ada alasan untuk kita “generasi muda” justru menutup mata akan sejarah.
60% dari jumlah pemilih tentu bukan angka yang kecil, jadi mari bangun kesadaran kolektif untuk menekan angka rendahnya kecerdasan memilih dimulai dengan berpikir logis dan analitis terhadap kandidat calon pemimpin kita, sebelum memutuskan untuk memilih.
Jangan termakan gimmick dan framming yang tidak penting, jangan mau hanya dianggap komoditas politik dan jangan mau untuk digiring “ngalor-ngidul” layaknya bebek. Potensi pemuda lebih daripada batas-batas itu!
Tulisan ini saya tutup dengan mengambil kutipan dari Romo Magnis, bahwa di tengah pesimisme terhadap demokrasi, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”!
Penulis: Donny Maulana – Ketua GMNI Malang / Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang.